Selama 10 tahun terakhir, Big Data telah membangkitkan harapan yang besar bagi perusahaan, seolah-olah mereka telah menemukan tanah perjanjian. Harapan akan adanya saluran komunikasi langsung yang luar biasa, yang memungkinkan mereka untuk segera mengetahui kebiasaan, keinginan, dan kebutuhan pelanggan sasaran.
Pada Mei 2011, dalam Laporan Penelitian Khusus, McKinsey, sebuah perusahaan konsultan manajemen, menyatakan bahwa "Big Data akan menjadi dasar utama persaingan bisnis di masa depan, mendukung peningkatan produktivitas, inovasi, dan tren baru dalam kelebihan konsumen." Pada periode yang hampir bersamaan, laporan IBM menyebutkan bahwa pada saat itu, 90% informasi di seluruh dunia telah dihasilkan dalam 2 tahun terakhir, menunjukkan bahwa data yang dihasilkan setiap hari sangatlah banyak.
Namun, hasil Survei Eksekutif Big Data & NewVantage Partners 2020 yang dipublikasikan pada tahun 2021, menunjukkan realita yang berbeda dari harapan awal. Isi survei tersebut merupakan hasil tanggapan dari 1.000 eksekutif di perusahaan-perusahaan yang masuk dalam daftar Fortune, yang bertanggung jawab dan mengawasi inisiatif data.
- Hanya 26,8% perusahaan yang telah membangun budaya data.
- Hanya 37,8% perusahaan yang menyatakan bahwa mereka menjalankan operasi yang digerakkan oleh data.
- Saat ini, hanya 45,1 perusahaan yang bersaing di bidang data dan analisis.
Tentu saja, perlu diakui bahwa ada contoh-contoh di mana Data Mining untuk Customer Intelligence telah membuat para pemegang saham Netflix dan Amazon merasa senang.
-
Namun, meskipun jumlah data meningkat pesat dan beberapa perusahaan telah meraih kesuksesan, sebagian besar perusahaan masih kesulitan untuk memperoleh wawasan mendalam seperti yang diharapkan pada awalnya. Pada akhirnya, analisis data hanyalah sebuah alat. Ketika kita menggunakan analisis data sebagai strategi, kita cenderung membuat asumsi tentang orang dan perilaku mereka.
Yaitu, asumsi yang salah yang tidak berhubungan dengan dunia nyata orang-orang tersebut.
Dengan kata lain, Big Data itu sendiri justru membuat perusahaan salah paham tentang orang-orang.
Pertama, Big Data memunculkan Thin Data. Dalam ilmu sosial, data yang digunakan untuk memahami perilaku manusia dibedakan menjadi dua kategori utama. Thin Data terutama berasal dari jejak digital orang-orang. Misalnya, informasi yang terlihat seperti "ia mengenakan ukuran 44, bermata cokelat, dan minum anggur Pinot Noir".
Dan yang lainnya, Thick Data, memberikan pemahaman tentang bagaimana orang benar-benar mengalami dunia. Misalnya, "ia dapat mencium aroma rumput setelah hujan, memandang orang yang berjalan bersamanya sebagai sosok yang istimewa, dan sepatu olahraga yang dipakainya membuatnya merasa lebih ringan saat melangkah" yaitu informasi yang kaya akan makna.
Singkatnya, Big Data hanya berfokus pada korelasi yang terkait dengan produk, tetapi tidak memperhatikan kausalitas dalam kehidupan sehari-hari. Namun, inti dari pemahaman perilaku manusia sebagai makhluk sosial terletak pada hubungan sebab-akibat. Jika tidak memiliki wawasan tentang pemikiran dan perasaan sebenarnya dari pelanggan, Thin Data akan memiliki makna dan kegunaan yang terbatas. Menurut laporan Accenture Analytics in Action, hanya 20% organisasi yang mengklaim memiliki kemampuan manajemen kinerja yang unggul yang telah "menemukan hubungan sebab-akibat yang terbukti antara apa yang mereka ukur dan hasil yang ingin mereka capai". Ini seperti bukti bahwa perusahaan yang berpusat pada algoritma telah kehilangan kemampuan mereka untuk memahami perilaku manusia.
Yang terpenting, Big Data tidak akan pernah dapat mengungkap pola-pola bernilai strategis di dalamnya tanpa keterampilan berpikir kritis. Berpikir kritis di sini mengacu pada proses membandingkan dan menelaah situasi berdasarkan bukti objektif untuk mengklarifikasi 'hubungan sebab-akibat'dan mengambil tindakan berdasarkan penilaian yang dihasilkan. Hal ini menjelaskan mengapa perusahaan perlu menumbuhkan kemampuan interpretasi perilaku manusia yang benar pada para eksekutifnya.
-
Jenis pemikiran analitis terbesar umat manusia berasal dari bidang ilmu sosial.
Sejarah, sastra, filsafat, antropologi, dan ilmu humaniora lainnya yang telah ada selama 2.000 tahun telah mengajarkan kita keterampilan berpikir kritis untuk memahami manusia dengan benar. Memahami perilaku manusia pada tingkat yang mendalam memungkinkan kita untuk memahami dan menjelaskan perubahan mendadak dalam perilaku pelanggan. Dan dari situlah kita dapat menemukan kemungkinan-kemungkinan menuju inovasi.
Pada akhirnya, jika kita dapat menemukan jawaban atas pertanyaan "Mengapa", perusahaan dapat memiliki perspektif yang berharga dalam pergerakan Big Data yang ramai saat ini. Dan perusahaan tersebut akan menjadi satu-satunya yang benar-benar memahami manusia.
Komentar0